Perbedaan Yang Terhormat dan Yang Saya Hormati

Permasalahan

Pada awal sebuah pidato, orang sering menggunakan ungkapan yang terhormat, bahkan tidak jarang pula menggunakan ungkapan yang saya hormati. Kandungan makna kedua ungkapan itu berbeda.

Penjelasan

Imbuhan ter- pada ungkapan Yang terhormat menunjukkan makna 'paling'. Yang terhormat berarti 'yang paling dihormati', 'yang paling mulia'. Ungkapan itu ditujukan pada orang yang paling dihormati atau yang paling mulia dalam forum itu. Berbeda dengan ungkapan yang saya hormati ('yang saya beri hormat'), pada ungkapan itu saya yang memberikan penghormatan. Dalam hal itu, kedua ungkapan pernyataan tersebut dapat digunakan sesuai dengan keperluannya.


Sumber: Buku Praktis Bahasa Indonesia

4 komentar untuk "Perbedaan Yang Terhormat dan Yang Saya Hormati"

  1. Saya mau tanya, jika disuatu tempat ada presiden dan gubernur maka siapakah yang harus disebut "yang terhormat" dan siapa yang disebut "yang saya hormati" atau dua duanya yang disebut "yang terhormat" ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang paling besar jabatannya kk, semoga jawaban saya membantu yah

      Hapus
  2. Penjelasan yang sangat singkat dan sangat mudah dipahami. Terima kasih...

    BalasHapus
  3. Keliru Koreksi atas Penggunaan Sebutan “Yang Terhormat”

    Dalam berbagai kesempatan saya mendengar banyak tokoh (pamong desa, dukuh, pengurus RW/RT, atau pembawa acara profesional) memberikan dan menyebarluaskan koreksi atas penggunaan sebutan “yang terhormat” jika dilakukan secara berkali-kali dan masing-masing ditujukan untuk orang yang berbeda. Alasannya adalah karena sebutan “yang terhormat” di situ, menurut para pengoreksinya, mempunyai arti “yang paling dihormati” atau dalam ilmu tata bahasa awalan “ter-“ di situ dipahami sebagai sarana pembentukan arti superlatif (tingkat teratas dalam suatu perbandingan).
    Demikianlah, dalam pandangan para pengoreksi tersebut, “terhormat” di situ disamakan kasus pembentukannya dengan “tercantik, terbagus, terpandai, tertolol” dan seterusnya, yakni awalan “ter-“ yang melekat pada kata sifat (adjektiva) sehingga menimbulkan makna ke-superlatif-an (keadaan paling unggul di antara semuanya). Dengan demikian, sebutan “yang terhormat” hanya bisa digunakan untuk satu orang.

    Sayangnya, koreksi itu tidaklah didasari oleh pemahaman yang tepat. Memang benar bahwa kata hormat bisa masuk ke dalam dua kelas kata, yakni adjektiva (kata sifat) dan nomina (kata benda). “Hormat“ sebagai kata sifat berarti ‘khidmat, menghargai, takzim, sopan). Adapun “hormat” sebagai kata benda berarti ‘perbuatan yang menandakan rasa khidmat, takzim (seperti menunduk, menyembah)’ (KBBI, 2008: 507). Dengan demikian, tambahan awal “ter—“ pada kata “hormat” (sebagai kata sifat) menimbulkan arti ‘paling khidmat’, ‘paling sopan’, ‘paling menghargai’. Meskipun menurut kaidah berbahasa hal ini bisa terjadi, tetapi dalam praktik, penggunaan yang seperti ini jarang sekali, nyaris tidak pernah, digunakan. Sebagai gambaran, cermatilah kalimat berikut.

    “Anak bungsu kami adalah anak yang terhormat kepada kami dibandingkan kakak-kakaknya.”

    Kalimat itu dapat dijelaskan lebih lanjut dengan ‘anak bungsu kami adalah yang paling menghargai, paling takzim, paling sopan’ dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Perhatikanlah bahwa “yang terhormat” di sini berbeda artinya dari kelompok kata “yang terhormat” yang biasa digunakan seorang pembicara untuk menyebut orang-orang unggul, penting, dalam mengawali sambutan, ceramah, atau untuk menyebut orang yang dikirimi surat dalam korespondensi (Kepada Yth....).

    Mengapa demikian?Jawabannya adalah karena sebutan “terhormat” dalam pidato protokoler atau surat menyurat itu berbeda kasusnya dengan pembentukan kata “tercantik, terbagus, tertolol” dan seterusnya. Dalam hal pidato atau surat menyurat itu, pembentukan kata “terhormat” berasal dari pelekatan awalan “ter—“ pada kata benda (bukan kata sifat atau adjektiva) “hormat”. Kasus pembentukannya dalam hal ini sama dengan pembentukan “terpukul, tercoret, tertipu, tergoda, tergores” dan seterusnya. Dengan demikian, makna awalan “ter—“ di situ adalah ‘dikenai’ dengan berbagai variannya seperti ‘diliputi (hormat), dikaruniai (hormat), dilimpahi (hormat), ditimpai (pukulan), dikenai (tipu)’ dan seterusnya (Kridalaksana, 1992: 49). Dengan demikian, frasa “yang terhormat” dalam hal ini tidak mengandung arti ‘(orang) yang paling dihormati’, tetapi ‘(orang) yang diberi, dilimpahi hormat’. Tidak ada makna superlatif di sini!


    Jadi, menggunakan frasa “yang terhormat” secara berkali-kali untuk menghormati orang-orang yang berbeda sebelum seseorang mengawali pidato atau ceramah bukanlah suatu tindakan berbahasa yang keliru dari segi makna (semantik). Oleh karenanya, hal itu tidak perlu dikoreksi. Kalaupun harus “dikoreksi”, mungkin bisa digunakan alasan lain. Misalnya ialah agar ada variasi penggunaan kata-kata sehingga pidatonya tidak monoton dan membosankan. Begitu. Terima kasih.

    --Rh. Widada, penulis, editor buku.

    Rujukan
    Kridalaksana, Harimurti. 1992. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    Pusat Bahasa, Depdikbud. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.I, Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    BalasHapus